Mari, Belajar Berfilsafat..
Filsafat-untuk mengetahui arti
katanya dapat saja aku cari di buku-buku atau mencari lewan mesin pencari di
internet. Filsafat dapat pula aku temukan dalam perkuliahan dan aku tinggal
bertanya kepada guru atau dosenku tentang hal itu. Tapi, bukankah filsafat
dipelajari dengan sendirinya? Ku rasa kuliah hanya mengenalkanku akan filsafat
dan selanjutnya aku harus berkenalan dengannya lebih sering dan sering lagi. Karena
berfilsafat ini adalah bagian dalam rutinitasku ternyata. Yah, tentang
berpikir.
Dimulai dengan kata pikir. Berpikir
adalah salah satu cirri dari manusia yang normal dan berakal sehat-kesampingkan
dulu orang gila yan gmengalami disorientasi ruang dan waktu. Berpikir akan
selalu dilakukan oleh setiap insan. Yah, mungkin bisa dianalogikan dengan
belajar bila mengambil sifatnya yang akan tetap dilakukan oleh manusia hingga
akhir hayat.
Tiap orang yang berakal sehat
pasti mampu untuk berpikir. Seberapa tinggi pikirannya itulah yang membedakan
satu orang dengan orang yang lain. Yah, mmeang begitulah. Orang yang memiliki
pengalaman lebih banyak akan menjadi lebih bijak dalam berpikir. Pengalaman memang
penting.
Meskipun pengalaman itu penting,
pengalaman tanpa adanya proses berpikir itupun jadi masalah. Bagaimana orang bisa
belajar dari pengalaman jika tidak berpikir?berpikir akan pengalamannya yang
entah sukses ataukah gagal sehingga dapat dijadikannya pelajaran bagi masa
depannya. Lantas, apakah orang yang tidak mampu megambil pelajaran dari
pengalamannya melalui proses berpikir adalah orang yang malas berpikir? Untuk hal
ini aku rasa tunggu dulu, tak baik menilai orang tanpa mengetauhi siapa dia,
apa kesibukannya, bagaimana kesehariannya, dan sebagainya.
Berpikir adalah hal yang
membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain-tentu saja yang kita lihat di
bumi ini. Karena jika pun ada kehidupan di luar sana, belum tentu kita mengetahuinya.
Entah itu yang ada atau yang mungkin ada.
Manusia sebagai makhluk yang
berakal tentunya haruslah bersyukur terhadap apa yang telah dimilikinya dan
berusaha untuk dapat menjadi pemimpin di dunia ini yang akan menyebarkan kasih sayang
bagi seluruh dunia. Pemimpin bagi dirinya sendiri minimal. Yah, tapi tak semua
mampu melakukannya.
Tak semua orang mampu menebarkan
kasih sayang kepada seluruh penghuni dunia: bumi, tumbuhan, hewan, manusia. Menyebarkan
kasih saying adalah suatu yang normative. Maksudnya? Yah, hanya berlaku bagi
orang –orang, hal-hal tertentu. Misalnya aku kenal dengan bumi, maka aku akan
bersikap baik dan berkasih sayang dengannya. Tapi, aku tidak bersahabat dengan
api, sehingga aku pun tak peduli sama sekali padanya.
Sekarang aku tahu bahwa
pengalamanku amat penting dalam aku dapat berpikir dengan bijak. Untuk dapat
menghasilkan sikap dan sifat bijak itu, aku harus mampu menggabungkan keduanya
deang oleh pikirku. Lalu, apakah ada hal lain yang ku butuhkan dalam ku
berfilsafat? Akan coba aku tengok.
Berpikir…..berpikir telah
menggunakan otakku, menggunakan kemampuan intelektualku. Lalu pengalamanku…. Aku
menggunakan inderaku untuk, mengecap, menyentuh, mendengar, melihat, mencium,
dan lainnya. Adakah yang belum aku gunakan?
Aku merasakan dengan hati. Pada
hati aku bertanya, apa aku menyukainya? Apa aku mengormatinya? Apa aku bahagia
bersamanya? Jadi, kurasa ini juga aku butuhkan dalam berfilsafat. Aku tak kan
punya empati sepenuhnya jika tak ku gunakan hatiku. Apa aku ingin menjadi orang
yang tak penuh? Setengah-setengah misalnya.
Terkadang pikiran orang yang terlalu tinggi
membuatnya berbangga diri, bahwa ia dapat menguasai dunia, bahwa dunia dapat
ditaklukannya dengan keilmuan yang ia miliki. Tapi, di atas langit masih ada
langit, radiasi nuklir tidak akan terjadi selamanya, manusia tak bisa hidup
selama dunia ini ada. Semua ada batasannya. Hati, kaulah yang erperan di sini.
Hati tak selamanya lemah. Saat
seorang terjatuh, hatinya memang berbicara terlebih dulu. Tapi pada akhirnya
dialah yang menjadi lebih kuat bagi orang tersebut dalam menjalani kehidupan
selanjutnya. Yah, pada akhirnya semua apparatus itu digunakan manusia dalam
menjalani kehidupannya sebaik yang ia bisa. Termasuk aku, karena aku adalah
manusia.
Berpikir ada batasnya. Tak semua
hal dan kebenaran dapat kita pikirkan. Bacalah Al-Qur’an. Beberapa kejadian
dapat dibuktikan secara empiric dengan ilmu pengetahuan yang ada, dengan indera
yang kita miliki. Kadang kita hany aperlu meyakini, dan itu sudah cukup. Karena
bila melebihi hal itu, entah jadi apa kita. Tuhan Maha Tahu apa yang sesuai
dengan kita. Jika kita memang hanya perlu meyakini, berarti itulah batas kemampuan
kita. Yah, hidup itu ada batasnya memang. Terima sajalah.
Saat hati ini telah mantap dalam
berfilsafat. Maka selanjutnya adalah pekerjaan niat dalam hati. Berpikir juga
merupakan proses belajar. Belajar dilakukan sepanjang hayat masih dikandung
badan. Belajar, dapat menjadi ibadah bila diniatkan untuk itu dan dilakukan
dengan cara yang semestinya.
Saat niat sudah tertanam dalam
hati, selanjutnya adalah perilaku belajar. Seseorang belajar suatu hal karena ia
belum mengetahui hal itu. Begitulah cara belajar. Ya, menganggap bahwa diri ini
masih kosong sehingga dapat diisi oleh pengetahuan-pengetahua yan gbukan akan
menyingkirkan pengetahuan yang lalu tapi justru menambahnya. Pada akhirnya
pengetahuan itu akan terakumulasi dengan baik dalam pikir, hati, dan indera
kita. Yah, begitulah kurasa namanya belajar.
Kembali pada belajar filsafat. Filsafat
dipelajari dalam pikiran karena merupakan oleh piker yangsenatiasa berkembang.
Hari ini ak uberfilsafat, besok pun demikian. Sungguh makhluk berakal tak bisa
dipisahkan dari filsafat. Karena filsafat pun dikatakan sebagai awal mula dari
semua ilmu. Filsafat terbatas dalam batasan yang-entahlah-tak ku ketahui. Karena
tiap orang yang berpikir pasti mampu dan akan berfilsafat.
Belajar tak kan pernah ada habisnya.
Batasnya adalah saat raga tak lagi bernyawa.
Saat itu tak ada lagi kewajiban bagi manusia.
Tuk belajar dan terus belajar.
Tentang yang ada atau yang mungkin ada.
Belajar filsafat dapat berbahaya.
Bagi mereka yan gtak mampu mengontrol batas pikirnya sendiri. Tapi
mempelajarinya dapat pula menyenangkan, karena dengannya-untukku-seperti
kuperoleh penghibur hati. Yah, menyenangkan itu memang urusan hati.
Terkadang saking menyenangkannya
aku gemas kepadanya,,haha..Ia dapat membuat pikirku menjadi kacau dalam
seketika. Tapi dapat menambah cabang syaraf lagi dalam otakku untuk memikirkan
hal yang tengah ku pikirkan. Dapatkah kau mengerti?Yah, kuliah filsafat dapat
membuatku risau memang.
Aku risau karena berbeda dengan
pengetahuan yan gselama ini kuperoleh berawal dari hal yang tidak jelas ku mengerti.
Setelah kupelajari, kupikirkan, kurasakan, kuresapi, aku pun menjadi jelas.
Berbeda deangn semua itu dalam ku belajar berfilsafat. Bermula dari yang jelas,
dibawa menjadi ketidakjelasan bagiku.
Apa kita harus membalik semua
yang jelas menjadi tidak jelas, atau minimal menjadi sesuatu yang patut diragukan
untuk kita dapat belajar berfilsafat?
Yogyakarta, 17 September 2012
Komentar
Posting Komentar