Langsung ke konten utama

Filsafat pertama


Mari, Belajar Berfilsafat..

Filsafat-untuk mengetahui arti katanya dapat saja aku cari di buku-buku atau mencari lewan mesin pencari di internet. Filsafat dapat pula aku temukan dalam perkuliahan dan aku tinggal bertanya kepada guru atau dosenku tentang hal itu. Tapi, bukankah filsafat dipelajari dengan sendirinya? Ku rasa kuliah hanya mengenalkanku akan filsafat dan selanjutnya aku harus berkenalan dengannya lebih sering dan sering lagi. Karena berfilsafat ini adalah bagian dalam rutinitasku ternyata. Yah, tentang berpikir.

Dimulai dengan kata pikir. Berpikir adalah salah satu cirri dari manusia yang normal dan berakal sehat-kesampingkan dulu orang gila yan gmengalami disorientasi ruang dan waktu. Berpikir akan selalu dilakukan oleh setiap insan. Yah, mungkin bisa dianalogikan dengan belajar bila mengambil sifatnya yang akan tetap dilakukan oleh manusia hingga akhir hayat.

Tiap orang yang berakal sehat pasti mampu untuk berpikir. Seberapa tinggi pikirannya itulah yang membedakan satu orang dengan orang yang lain. Yah, mmeang begitulah. Orang yang memiliki pengalaman lebih banyak akan menjadi lebih bijak dalam berpikir. Pengalaman memang penting.

Meskipun pengalaman itu penting, pengalaman tanpa adanya proses berpikir itupun jadi masalah. Bagaimana orang bisa belajar dari pengalaman jika tidak berpikir?berpikir akan pengalamannya yang entah sukses ataukah gagal sehingga dapat dijadikannya pelajaran bagi masa depannya. Lantas, apakah orang yang tidak mampu megambil pelajaran dari pengalamannya melalui proses berpikir adalah orang yang malas berpikir? Untuk hal ini aku rasa tunggu dulu, tak baik menilai orang tanpa mengetauhi siapa dia, apa kesibukannya, bagaimana kesehariannya, dan sebagainya.
Berpikir adalah hal yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain-tentu saja yang kita lihat di bumi ini. Karena jika pun ada kehidupan di luar sana, belum tentu kita mengetahuinya. Entah itu yang ada atau yang mungkin ada.

Manusia sebagai makhluk yang berakal tentunya haruslah bersyukur terhadap apa yang telah dimilikinya dan berusaha untuk dapat menjadi pemimpin di dunia ini yang akan menyebarkan kasih sayang bagi seluruh dunia. Pemimpin bagi dirinya sendiri minimal. Yah, tapi tak semua mampu melakukannya.

Tak semua orang mampu menebarkan kasih sayang kepada seluruh penghuni dunia: bumi, tumbuhan, hewan, manusia. Menyebarkan kasih saying adalah suatu yang normative. Maksudnya? Yah, hanya berlaku bagi orang –orang, hal-hal tertentu. Misalnya aku kenal dengan bumi, maka aku akan bersikap baik dan berkasih sayang dengannya. Tapi, aku tidak bersahabat dengan api, sehingga aku pun tak peduli sama sekali padanya.
Sekarang aku tahu bahwa pengalamanku amat penting dalam aku dapat berpikir dengan bijak. Untuk dapat menghasilkan sikap dan sifat bijak itu, aku harus mampu menggabungkan keduanya deang oleh pikirku. Lalu, apakah ada hal lain yang ku butuhkan dalam ku berfilsafat? Akan coba aku tengok.
Berpikir…..berpikir telah menggunakan otakku, menggunakan kemampuan intelektualku. Lalu pengalamanku…. Aku menggunakan inderaku untuk, mengecap, menyentuh, mendengar, melihat, mencium, dan lainnya. Adakah yang belum aku gunakan?

Aku merasakan dengan hati. Pada hati aku bertanya, apa aku menyukainya? Apa aku mengormatinya? Apa aku bahagia bersamanya? Jadi, kurasa ini juga aku butuhkan dalam berfilsafat. Aku tak kan punya empati sepenuhnya jika tak ku gunakan hatiku. Apa aku ingin menjadi orang yang tak penuh? Setengah-setengah misalnya.

Terkadang pikiran orang yang terlalu tinggi membuatnya berbangga diri, bahwa ia dapat menguasai dunia, bahwa dunia dapat ditaklukannya dengan keilmuan yang ia miliki. Tapi, di atas langit masih ada langit, radiasi nuklir tidak akan terjadi selamanya, manusia tak bisa hidup selama dunia ini ada. Semua ada batasannya. Hati, kaulah yang erperan di sini.

Hati tak selamanya lemah. Saat seorang terjatuh, hatinya memang berbicara terlebih dulu. Tapi pada akhirnya dialah yang menjadi lebih kuat bagi orang tersebut dalam menjalani kehidupan selanjutnya. Yah, pada akhirnya semua apparatus itu digunakan manusia dalam menjalani kehidupannya sebaik yang ia bisa. Termasuk aku, karena aku adalah manusia.

Berpikir ada batasnya. Tak semua hal dan kebenaran dapat kita pikirkan. Bacalah Al-Qur’an. Beberapa kejadian dapat dibuktikan secara empiric dengan ilmu pengetahuan yang ada, dengan indera yang kita miliki. Kadang kita hany aperlu meyakini, dan itu sudah cukup. Karena bila melebihi hal itu, entah jadi apa kita. Tuhan Maha Tahu apa yang sesuai dengan kita. Jika kita memang hanya perlu meyakini, berarti itulah batas kemampuan kita. Yah, hidup itu ada batasnya memang. Terima sajalah.

Saat hati ini telah mantap dalam berfilsafat. Maka selanjutnya adalah pekerjaan niat dalam hati. Berpikir juga merupakan proses belajar. Belajar dilakukan sepanjang hayat masih dikandung badan. Belajar, dapat menjadi ibadah bila diniatkan untuk itu dan dilakukan dengan cara yang semestinya.

Saat niat sudah tertanam dalam hati, selanjutnya adalah perilaku belajar. Seseorang belajar suatu hal karena ia belum mengetahui hal itu. Begitulah cara belajar. Ya, menganggap bahwa diri ini masih kosong sehingga dapat diisi oleh pengetahuan-pengetahua yan gbukan akan menyingkirkan pengetahuan yang lalu tapi justru menambahnya. Pada akhirnya pengetahuan itu akan terakumulasi dengan baik dalam pikir, hati, dan indera kita. Yah, begitulah kurasa namanya belajar.

Kembali pada belajar filsafat. Filsafat dipelajari dalam pikiran karena merupakan oleh piker yangsenatiasa berkembang. Hari ini ak uberfilsafat, besok pun demikian. Sungguh makhluk berakal tak bisa dipisahkan dari filsafat. Karena filsafat pun dikatakan sebagai awal mula dari semua ilmu. Filsafat terbatas dalam batasan yang-entahlah-tak ku ketahui. Karena tiap orang yang berpikir pasti mampu dan akan berfilsafat.

Belajar tak kan pernah ada habisnya.
Batasnya adalah saat raga tak lagi bernyawa.
Saat itu tak ada lagi kewajiban bagi manusia.
Tuk belajar dan terus belajar.
Tentang yang ada atau yang mungkin ada.

Belajar filsafat dapat berbahaya. Bagi mereka yan gtak mampu mengontrol batas pikirnya sendiri. Tapi mempelajarinya dapat pula menyenangkan, karena dengannya-untukku-seperti kuperoleh penghibur hati. Yah, menyenangkan itu memang urusan hati.

Terkadang saking menyenangkannya aku gemas kepadanya,,haha..Ia dapat membuat pikirku menjadi kacau dalam seketika. Tapi dapat menambah cabang syaraf lagi dalam otakku untuk memikirkan hal yang tengah ku pikirkan. Dapatkah kau mengerti?Yah, kuliah filsafat dapat membuatku risau memang.

Aku risau karena berbeda dengan pengetahuan yan gselama ini kuperoleh berawal dari hal yang tidak jelas ku mengerti. Setelah kupelajari, kupikirkan, kurasakan, kuresapi, aku pun menjadi jelas. Berbeda deangn semua itu dalam ku belajar berfilsafat. Bermula dari yang jelas, dibawa menjadi ketidakjelasan bagiku.
Apa kita harus membalik semua yang jelas menjadi tidak jelas, atau minimal menjadi sesuatu yang patut diragukan untuk kita dapat belajar berfilsafat?


Yogyakarta, 17 September 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mencari

setiap kita adalah pencari pencari makna pencari makan pencari berita   bagi para pencari proses ini tidak akan berhenti, karena belajar salah satunya dengan mencari   yang kemudian perlu dijadikan pagar adalah bahaimana pencarian berlandaskan pada aturan yang tidak menyimpang dan disertai permohonan agar tetap diberikan petunjuk oleh Yang Maha Menciptakan

reflect

cerita sore hari kemarin seperti biasa aku pulang menempuh jalan yang biasa aku lalui dan sebagaimana biasanya, macet melanda hampir 1 kilometer sebelum lampu merah di pertigaan jalan besar itu dan.. jika aku lebih sering menghindar dari kemacetan dengan menggunakan jalur yang lain lewat ring road utara tapi semalam, entah aku berkeyakinan dapat menembus kemacetan dengan sabar sehingga jalur yang aku lalui jalur biasanya dan baik saja hasil dari menempuh kemacetan itu ternyata adalah....... jalur biasanya dialihkan ^o^ sudah cukup lam berada dalam kemacetan, sampai di pertigaan justru tidak bisa lurus seperti biasanya malah diminta untuk memutar jalan ke utara yang pastinya di putaran itu (u-turn) juga pasti ramai dan macet alhasil, aku pun memilih untuk memutar lebih jauh dan menuju putaran yang bisa aku temui jika aku lewat jalan alternatif ring road tadi pelajaran yang dapat kupetik sebagaimanapun kita menyikapi positif apa yang ada di hadapan kita tetaplah

drama

Hidup itu adalah drama Tak jarang kita melontarkan kalimat "ah, drama!" pada apa yang terjadi pada orang di sekitar kita ketika ia bercerita Tapi, ingatkah kita? Bahwa hidup kita pun adalah drama Drama yang kita lalui Drama yang kita lah pemeran utamanya Tapi kenapa? Kita baru menyebut drama ketika orang lain bercerita Ketika kita tidak ada di sana sebagai pemeran utama Apakah karena kita lebih suka mengamati drama orang lain? Ataukah karena kita tidak berani menjadi tokoh utama dalam drama kita sendiri? Mana yang benar ini?