Langsung ke konten utama
Tugas Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu
Hari/Tanggal : Selasa, 15 Januari 2013

PEMBELAJARAN IPA YANG INTERAKTIF, TERPUSAT, DAN INTUITIF

Oleh:
Destri Ratna M/ 12708251072/ PSn D

Science berasal dari bahasa Inggris yang berarti ilmu pengetahuan. Lebih lanjut lagi ilmu pengetahuan ini terbagi menjadi natural science dan social science. Natural science inilah yang kemudian di Indonesia disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sedangkan social science disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
IPA atau biasa juga disebut dengan sains, merupakan salah satu cabang ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam yang faktual, berupa gejala benda maupun gejala peristiwa dan hubungan antara keduanya. IPA, pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif), tetapi pada perkembangan selanjutnya sains juga diperoleh dan dikembangkan secara deduktif menggunakan teori yang telah ada.
Sains memiliki dua bagian yaitu sains sebagai produk dan sains sebagai proses. Sains sebagai produk berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif. Sains sebagai proses berupa kerja ilmiah yang biasanya digunakan untuk memperoleh pengetahuan baru dalam IPA. Diperolehnya produk sains merupakan kelanjutan dari proses sains yang dilakukan. Begitu pula proses sains merupakan kelanjutan dari produk sains yang telah ada dan ingin dikembangkan atau ditinjau ulang maupun terhadap hal yang masih baru untuk diteliti.
Pembelajaran IPA memanfaatkan IPA sebagai produk maupun proses guna mengembangkan potensi positif dari siswa. Dapat dikatakan juga bahwa IPA merupakan alat yang dimanfaatkan guru dalam upaya interaksinya dengan siswa untuk mengembangkan potensi positif siswa. Siswa merupakan pihak yang membutuhkan dari segenap komponen pembelajaran. Siswa yang nantinya akan menjalani kehidupannya sendiri dengan pilihannya sendiri berdasarkan bekal dari guru dan sekolah. Siswa nantinya yang akan berhubungan dengan lingkungan kehidupannya masing-masing. Oleh karena itu, siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan akan hidup dan kehidupan. Dengan demikian jelas sudah bahwa siswa menjadi pusat dari pembelajaran IPA.
Sebagai pusat dari pembelajaran  IPA, siswa berhak untuk dapat berinteraksi secara langsung dengan apa yang dipelajarinya. Misalnya, apabila sedang mempelajari materi keanekaragaman tumbuhan, maka siswa berhak ditunjukkan beraneka ragam tumbuhan yang ada di sekeliling mereka secara langsung, bila memungkinkan. Siswa adalah aktor utama dalam pembelajaran yang disutradarai oleh guru dan diproduseri oleh sekolah. Semua ini tergantung dari desain pembelajaran guru. Oleh karena itu, desain pembelajaran yang direncanakan guru hendaklah berpegang pada prinsip interaksi ini.
Pembelajaran IPA yang interaktif, menganut pada paham hermeunitika, di mana terjadi proses interaksi. Interaksi ini dapat berupa interaksi siswa dengan guru, siswa dengan apa yang dipelajari, siswa dengan lingkungannya. Diantara beberapa interaksi tersebut yang terutama adalah interaksi siswa dengan apa yang ia pelajari. Interaksi ini dimaksudkan untuk mempertemukan siswa secara langsungdan sebisa mungkin dengan hal-hal yang mereka pelajari bahkan jika memungkinkan dikontekskan dnegan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan lebih termotivasi unutk belajar karena apa yang mereka pelajari ternyata meraka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Saat motivasi ini meningkat, maka siswa dapat menambah pemahamannya tentang apa yang ia pelajari tersebut.
Hidup ini sebenarnya adalah saling menerjemahkan dan diterjemahkan. Sebagai contohnya, siswa menerjemahkan gejala benda dari tumbuhan sehingga tumbuhan diterjemahkan oleh siswa melalui kegiatan penelitian ataupun observasi. Tumbuhan yang beraneka ragam ciri-cirinya menunjukkan gejala benda yang dapat diterjemahkan siswa menjadi hasil dari pengamatannya.
Selain menerjemah dan diterjemahkan, pembelajarn IPA selayaknya dapat membelajarkan konsep-konsep penting yang memang dirasa perlu diberikan kepada siswa SMP. Hal ini berkaitan dengan standar kompetensi lulusan yang diharapkan oleh sekolah. Sekolah dapat memilih mana materi yang dirasa sesuai dan perlu untuk diberikan kepada siswa sehingga siswa tidak serta merta mempelajari keseluruhan materi sebagaimana digariskan oleh pemerintah.
Dalam upaya pemilihan materi, sekolah memegang peran yang penting sebagai pelaksana dari kegiatan pendidikan bagi siswa. Guru juga memiliki peran yang tak kalah pentingnya, yaitu sebagai pelaksana pembelajaran di kelas. Kedua komponen ini harus dengan cermat mengetahui mana materi-materi yang dapat direduksi atau mungkin dapat diidealkan sebagai cermin dari mata pelajaran tertuntu guna mendukung tujuan/ kompetensi lulusan.
Sebagai contoh, ketika guru melaksanakan pembelajaran eksperimen tentang pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan kecambah. Setting eksperimennya diarahkan agar siswa mengamati perbedaan pertumbuhan kecambah antara kecambah yang terpapar sinar matahari dan yang tidak. Untuk komponen-komponen pengganggu lain dapat dikontrol, misalnya banyak air yang digunakan untuk menyiran, jumlah kecambah, asal kecambah, ukuran kecambah, dsb sehingga siswa hanya diminta untuk mengamati apa yang perlu diamati.   
Pada hakekatnya, manusia akan senantiasa belajar sepanjang hayatnya. Bermula dari belajar menendang ataupun menangis setelah bayi dilahirkan hingga belajar untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang sesuai harapan.
Intuisi merupakan salah satu dari sumber pengetahuan. Intuisi disebutkan sebagai hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini memerlukasn usaha. Intuisi ini merupakan pengetahuan yang mutlak dan diperoleh secara langsung oleh yang bersangkutan.
Intuisi dapat dihasilkan dari pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung, tetapi yang perlu dicatat adalah, hal ini dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Entah mengalami sendiri, membaca pengalaman orang, membaca buku, menulis, dan lain sebagainya, aktor utama tetaplah si pencari intuisi. Pengetahuan intuitif dapat digunakan sebagai hipotesa bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuitif dan analisis dapat  saling bekerja sama dan saling membantu dalam menemukan kebenaran.
Intuisi digunakan baik oleh anak kecil maupun orang tua. Hal ini merupakan salah satu pembuktian bahwa belajar adalah sepanjang hayat. Anak kecil belajar menggunakan intuisi saat mengenali bagian-bagin tubuhnya, begitu pula untuk menerjemahkan lapar, haus, marah, dsb. Orang dewasa menggunakanintuisi dalam upaya pembiasaan terhadap nilai-nilai kebaikan sehingga menjadi niali dalam dirinya masing-masing.
Pembelajaran IPA yang intuitif dimaksudkan agar siswa mampu melatih kemampuannya dalam berintuisi sehingga ia dapat memperoleh pemahaman yang tertinggi tentang apa yang dipelajarinya. Pemahaman yang tertinggi bukan hanya dari segi material IPA saja, tetapi juga dari proses dan sikap yang mereka kembangkan.
Guru sebagai fasilitator bagi siswa sudah seharusnya menumbuh-kembangkan kegiatan belajar IPA yang melibatkan siswa sebagai tokoh utama dalam interaksi pembelajaran. Selain itu, guru juga memiliki keharusan untuk mampu memilih dan menentukan materi belajar IPA mana yang akan didiskusikan bersama siswa. Terlebih lagi guru harus mampu mengembangkan pembelajaran yang dapat melatih siswa dalam melatih intuisinya.

Referensi:
Amsal Bahtiar. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Andi Hakim Nasoetion. 1989. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Pustaka Lentera Nusa

Dwi Siswoyo, Sriyati Sidharto, T. Sulistyono, Achmad Dardiri, L. Hendrowibowo, dan Arif Rohman. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Harry Hamersma. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mencari

setiap kita adalah pencari pencari makna pencari makan pencari berita   bagi para pencari proses ini tidak akan berhenti, karena belajar salah satunya dengan mencari   yang kemudian perlu dijadikan pagar adalah bahaimana pencarian berlandaskan pada aturan yang tidak menyimpang dan disertai permohonan agar tetap diberikan petunjuk oleh Yang Maha Menciptakan

reflect

cerita sore hari kemarin seperti biasa aku pulang menempuh jalan yang biasa aku lalui dan sebagaimana biasanya, macet melanda hampir 1 kilometer sebelum lampu merah di pertigaan jalan besar itu dan.. jika aku lebih sering menghindar dari kemacetan dengan menggunakan jalur yang lain lewat ring road utara tapi semalam, entah aku berkeyakinan dapat menembus kemacetan dengan sabar sehingga jalur yang aku lalui jalur biasanya dan baik saja hasil dari menempuh kemacetan itu ternyata adalah....... jalur biasanya dialihkan ^o^ sudah cukup lam berada dalam kemacetan, sampai di pertigaan justru tidak bisa lurus seperti biasanya malah diminta untuk memutar jalan ke utara yang pastinya di putaran itu (u-turn) juga pasti ramai dan macet alhasil, aku pun memilih untuk memutar lebih jauh dan menuju putaran yang bisa aku temui jika aku lewat jalan alternatif ring road tadi pelajaran yang dapat kupetik sebagaimanapun kita menyikapi positif apa yang ada di hadapan kita tetaplah

drama

Hidup itu adalah drama Tak jarang kita melontarkan kalimat "ah, drama!" pada apa yang terjadi pada orang di sekitar kita ketika ia bercerita Tapi, ingatkah kita? Bahwa hidup kita pun adalah drama Drama yang kita lalui Drama yang kita lah pemeran utamanya Tapi kenapa? Kita baru menyebut drama ketika orang lain bercerita Ketika kita tidak ada di sana sebagai pemeran utama Apakah karena kita lebih suka mengamati drama orang lain? Ataukah karena kita tidak berani menjadi tokoh utama dalam drama kita sendiri? Mana yang benar ini?